Taman Baca Mumtaza: Sebuah Gerakan Literasi yang Sederhana
“Mereka berjalan berkeliling perumahan, memberitahu semua orang. Para tetangga yang melihatnya hanya mengangguk dan memberi senyuman. Entahlah, tak banyak tetangga yang betulan datang.”
- Adi Wahyudin -
Pagi itu, aku diajak temanku pergi ke satu daerah yang entah. Konon, daerah itu terkenal dengan dodol-nya yang lezat serta dorokdok-nya yang renyah. Udaranya masih teramat sejuk untuk dihirup, jalanan yang masih terbilang lengang dari kemacetan, dan tempat hunian orang-orang yang ramah bukan buatan.
Rupanya, daerah itu berada di lembah, dikelilingi beberapa gunung yang tampak indah. Lebatnya hutan dan barisan pepohonannya bersanding harmoni dengan aroma wangi dari kebun-kebun kopi. Belum lagi sumber air panas yang selalu mengepul membawa sulfur, tempat diri merendam penat hingga terlipur, lalu bersama nyaman ia melebur.
Kami lanjutkan perjalanan menyusuri jalan berkelok-kelok ke Selatan. Berbelok kanan dan kiri, kemudian kiri dan kanan, bergantian. Mengikuti kontur lereng yang berbeda ketinggian. Di ujungnya, pada samudra kami dipertemukan. Nah, telah kami dengar suara deburnya yang luas nan terbentang. Kami begitu takjub pada karangnya yang kokoh nan menjulang. Lalu, kami cermati pecahan kerang-kerang kecil, yang begitu elok berkilauan di atas pasir; sehampar garis pantai yang membuat hati berdecak, sekaligus berdesir.
Kesemua indah itu tergabung dalam satu nama yang sama. Nama yang muasalnya berarti ‘tergores’ dalam bahasa Sunda, terluka lantaran duri pada semak dan belukar lebat. Kakarut, Gagarut orang menyebutnya, hingga tersimpul menjadi nama: Garut, sang “Kota Intan”.
Daerah Garut memang indah tak terkira. Tak heran jika ia menarik wisata pendatang dari luar kota. Mereka ramai-ramai berdatangan kala liburan, bertransaksi, menumbuhkan ekonomi. Mereka tumpah ruah berwisata, satu-dua berunjuk harta, lalu sedikit demi sedikit mengikis kearifan budaya.
Kota kecil ini mulai terhanyut modernisasi dunia. Padahal, kesederhanaan kampung ini terlalu berharga, jika harus terpapar akan kebiasaan yang berbeda. Handphone-handphone yang melenakan itu tak lagi dibatasi. Game online semakin menyuburkan egois pada diri anak-anak desa. Demikian pula judi-judi yang katanya berizin, serta narkoba-narkoba yang mencelakakan masa depan bangsa.
Tak terasa perjalanan kami sudah sampai di sebuah kampung yang di tengahnya berdiri sepetak rumah sederhana, yang di dalamnya tinggal seorang tokoh pejuang literasi yang tetap setia hidup dengan lembaran buku-buku.
***
Ia hidup di sebuah kampung yang tak jauh dari kantor-kantor dan sekolah. Rumahnya memang kecil dan sederhana. Bukan berlantai pualam, tidak pula berhias tanaman bermacam ragam, apalagi tinggi bertingkat-tingkat bak gedung kantoran. Rumah itu bertipe tiga-enam, dengan tampak depan teramat biasa selayaknya hunian standar. Kanan-kiri, depan-belakang, rumah-rumah berderet serona seragam.
Lantai keramik rumahnya memang sudah retak beberapa kotak, yang ketika kita coba injak, terdengar suara gemeretak sesaat. Cat dindingnya pun sudah lusuh setengah pucat. Ditambah coretan anak yang membuatnya bak kanvas terpajang luas. Ada gambar putri dan istana, gambar mobil dan pengendara, robot-robot, atau benang super panjang yang berputar kusut hingga semrawut. Tercoreng dan kusam!
Dari semua keterbatasan itu, ia mengisi salah satu ruang kecil rumahnya dengan barang yang berbeda di antara para tetangganya. Karena barang itu, rumah ini tampak indah. Tepatnya di ruang paling depan berukuran tiga kali tiga, berdiri sebuah rak dengan buku-buku menumpuk di dalamnya. Sang pemilik rumah, sengaja menjadikan ruang sederhana tersebut sebagai taman baca. Sebuah taman yang membuatnya berbeda dari hunian lainnya.
..........................
Kisah lengkap "Taman Baca Mumtaza: Sebuah Gerakan Literasi yang Sederhana" dapat anda baca di buku Membumikan Literasi.
Posting Komentar untuk "Taman Baca Mumtaza: Sebuah Gerakan Literasi yang Sederhana"