Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

settia

Pahlawan Literasi dari Negeri Tertinggal

 “Nursyida pun tumbuh menjadi pribadi yang haus membaca, tak peduli pada segala keterbatasan. Bahkan saat duduk di bangku kuliah di Fakultas Sastra Universitas Negeri Yogyakarta, seorang pemilik toko buku terpaksa mengusirnya secara halus. Karena ia datang ke toko buku berkali-kali hanya untuk menumpang membaca, namun tak mampu membeli buku.”

- Siti Syariah - 


Melihatnya sekilas, ia tampak seperti perempuan biasa yang hidup di kampung pada umumnya. Tubuhnya berisi, tertutup gamis longgar dengan jilbab sedada. Wajahnya sederhana, sepi dari polesan make up. Namun senyum yang selalu mekar sempurna dan tatapan mata yang menyuguhkan kepedulian mendalam, cukup menjawab bahwa ia bukan perempuan biasa-biasa saja.

Perempuan itu bernama Nursyida Syam. Takdir telah memilihnya untuk terlahir di bumi Lombok Utara, sebuah negeri yang minus dari peradaban. Angka putus sekolah dan buta aksara yang tinggi, budaya pernikahan dini yang merajalela, hingga kemiskinan dan keterbelakangan yang tergambar jelas dari wajah-wajah manusianya.

Tak ada yang menyangka, anak istimewa yang terlahir disleksia ini suatu saat namanya akan membumi di tengah-tengah masyarakat, karena ruhnya benar-benar ia berikan untuk dunia yang ia cintai; dunia literasi.

Warisan Sang Ayah

Nursyida kecil adalah anak yang beruntung. Meski terlahir dengan gangguan membaca, ayahnya yang seorang wartawan berhasil membuatnya jatuh cinta pada dunia membaca. Sang Ayah sering membuat kliping tokoh-tokoh terkenal dari koran-koran yang dibacanya sebagai bahan bacaan bagi Nursyida. Ayahnya yang bersahaja memilih mewariskan kecintaan membaca pada anaknya, karena itu jauh lebih berharga daripada mewariskan harta benda. “Teruslah membaca, karena melalui membaca kau akan temukan keajaiban”, begitulah pesan sang ayah yang selalu membekas di benak Nursyida.

Maka Nursyida pun tumbuh menjadi pribadi yang haus membaca, tak peduli pada segala keterbatasan. Bahkan saat duduk di bangku kuliah di Fakultas Sastra Universitas Negeri Yogyakarta, seorang pemilik toko buku terpaksa mengusirnya secara halus. Karena ia datang ke toko buku berkali-kali hanya untuk menumpang membaca, namun tak mampu membeli buku.

Segala keterbatasan itu akhirnya menumbuhsuburkan cita-citanya untuk mendirikan taman baca yang bisa dijangkau oleh masyarakat. Cita-cita mulia itu kemudian menjadi sebuah syarat pernikahan yang diajukannya pada Lalu Badrul, lelaki yang datang meminangnya. Ia meminta agar lelaki itu bersedia mendukung sepenuhnya cita-cita untuk mendirikan taman baca.

Nursyida dan Lalu Badrul akhirnya menikah bertepatan dengan Hari Buku Internasional, yaitu pada tanggal 23 April di tahun 2004 dengan mahar Al-Qur’an dan sebuah buku Fikih Wanita.

Mendirikan Klub Baca Perempuan

Kisah lengkap perjuangan Nursyida Syam dapat anda baca di buku Para Pejuang Literasi



Posting Komentar untuk "Pahlawan Literasi dari Negeri Tertinggal"