Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

settia

Perpustakaan Desa Tempat Terbaikku Melipur Lara

Perpustakaan Desa Tempat Terbaikku Melipur Lara

PERGI DAN PUISI
Oleh : Kemiyati Wirono
Ditulis dalam rangka mengikuti Lomba Menulis Kisah Inspiratif Perpustakaan Desa dengan tema Dari Desa Membangun Bangsa

Tinggal di sebuah desa yang sebagian besar memiliki wilayah pegunungan atau dataran tinggi bukanlah hal yang mudah untuk mendapatkan sinyal internet. Namun keadaan ini juga memberikan kebagaiaan tersendiri untukku, atau bahkan mungkin kadang beberapa orang ingin menjadikan tempat-tempat seperti ini sebagai tempat untuk menepi atau menyendiri dari riuh dan hiruk-pikuknya kehidupan kota.  Rumah tempat aku tinggal biasa dikatakan pelosok. Di sana, tidak ada akses jalan aspal. Yang ada hanyalah jalan cor blok 2 arah dengan lebar 3 meter. Suasana asri dengan keramah-tamahan penduduk yang jauh dari kontaminasi peradaban kota juga merupakan suatu suasana yang menyenangkan. Desaku adalah adalah salah satu dari 88 desa yang ada di Kabupaten Kulon Progo, Kecamatan Kokap, Daerah Istimewa Yogyakarta. Iya, perempuan  desa yang tinggal bersama di rumah sederhana dengan keluarga. Namun begitu,  menjadi bagian dari warga Yogya yang dikatakan kota pelajar, di mana pendidikan menjadi hal utama yang  banyak orang cita-citakan.

Walaupun tinggal di sebuah desa pelosok, namun hal ini menjadi kebanggaan tersendiri untukku.  Meski dengan keluarga yang berpenghasilan pas-pasan, aku begitu keras kepala untuk mewujudkan apa yang ku cita-citakan. Meski lahir dari keluarga yang Bapak hanya seorang buruh bangunan dan Ibu pengurus rumah tangga, tak pernah mengecilkan ingin dan cita-citaku. Sejak kecil aku  suka membaca. Aku ingat benar, karena kesukaanku ini aku pernah dimarahi oleh nenek karena pagi-pagi aku sibuk membaca koran yang menjadi bungkus tempe saat membantu ibu di dapur. Berbanding lurus dengan budaya patriarki yang masih lekat dan pandangan di mana perempuan Jawa yang hanya boleh mengenal dapur, sumur dan kasur atau sekedar konco wingking. Sangat bertentangan dengan cita-cita kecilku saat itu. Iya, aku ingin sekolah tinggi. Aku ingin menjadi seorang wartawan agar aku  bisa membantu orang lain dengan mengabarkan berita, atau merubah pemikiran-pemikiran orang melalui tulisan.  Sebuah pemikiran anak kecil yang begitu seneng ketika melihat pewarta menyampaikan beritanya. Kuat keinginan itu semakin menjadi setelah aku duduk di bangku SMA. “Aku boleh menjadi perempuan biasa tapi tidak dengan pemikiran-pemikiranku” . ucapku dalam hati.

Dan benar saja, mewujudkan cita-cita tidak semudah yang dibayangkan. Melawan atau berseberangan dengan budaya yang sudah melekat di masyarakat tentu bukan lagi hambatan kecil untuk dihadapi. Lulus SMK aku sudah dihadapkan pada permintaan orang tua untuk menikah. Dengan calon suami yang  telah disiapkan oleh mereka. Seorang pemuda sederhana. Ketua RISMAS tempat aku mengajar ngaji. Sekaligus seorang qori’, pemuda yang tidak merokok dan tidak mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk sebagaimana pemuda yang lain. Sebagai perempuan Jawa dan seorang  muslim tentu sadar benar bahwa menempatkan titah dan perintah orang tua adalah hal utama dan pertama yang harus dilakukan seorang anak. Aku menikah di usia yang bisa dibilang cukup muda, 20 tahun.  Dengan kondisi seperti ini, hal pertama  yang aku buat  adalah kesepakatan dengan keluarga kecilku. Ada beberapa, di antaranya: “ Siapapun boleh mencari nafkah, tidak ada pembedaan pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan serta pernikahan bukanlah jalan untuk menghentikan cita-cita. Tapi justru pernikahan adalah sarana di mana cita-cita bisa terus diwujudkan dengan saling mendukung dan memotivasi “

Aku percaya, orang tua selalu memberikan dan mengingkan yang terbaik untuk anaknya. Dua tahun menikah, suamiku diangkat menjadi seorang perangkat desa  setelah sebelumnya melalui pemilihan langsung. Dengan begitu, di usia 22 tahun aku sudah harus berperan menjadi perempuan dewasa sebagai sosok panutan di masyarakat. Berat ? iya. Tapi tentu Tuhan tidak akan membiarkan hambaNya berjuang sendirian.

Cita-cita sebagai seorang wartawan dan penulis masih kuat mengakar di hati dan kepalaku. Namun apalah daya, di usia 22 tahun dan di saat aku melahirkan anakku yang pertama, Tuhan menguji ingin dan kesabaranku dengan mengambilnya. Shock dan terpukul menjadikanku perempuan pendiam, tertutup yang kemudian hanya  berkutat dengan kamar dan kamar.  Menutup diri, jauh dari kata pergaulan dan dunia luar. Hanya berteman buku dan buku. Perpustakaan yang dikatakan orang tempat orang menyepi dengan segala kesibukan di kepalanya, menjadi tempatku untuk kemudian bisa mengawali hidup lagi. Inilah mungkin awal hidupku di mana Tuhan ingin mewujudkan cita-citaku  Keinginan untuk  menjadi seorang penulis dan wartawan, sekuat keinginanku melanjutkan sekolah yang masih membara di kepala.

Aku pernah membaca, seseorang yang suka membaca akan berbanding lurus dengan kesukaan atau keinginannya untuk menulis. Dan ini benar kualami,  Tuhan memberiku cara untuk  mewujudkan cita-cita dengan hal yang tidak aku duga. Setelah aku jatuh dengan kepergiannya, hal itu membuatku  sering mengunjungi perpustakaan dengan membawa pulang  dan membaca 2-3 buku setiap harinya. Ini kulakukan untuk menghibur, menenangkan serta mengalihkan duniaku akan kesedihan.

Berawal dari situlah aku mulai mengenal dunia sastra dengan aku membuat puisi-puisi sederhana tentang kerinduan, cinta, ikhlas dan kepasrahan pada Tuhan. Tentang sebuah nasib dan perjalanan hidup. Hingga pernah  seseorang mengatakan aku perempuan yang  hidup tidak matipun tidak. Semua dia katakan setelah membaca tulisan-tulisanku di media sosial. Walau begitu aku tak pernah ambil pikir. Aku terus menulis. Menulis apa saja  yang ada di kepala dengan gaya dan bahasaku sendiri. Waktu terus berlalu. Aku merasa kembali hidup dengan aku menulis. Tulisan – tulisan sederhana yang berawal dari puisi-puisi  berganti menjadi cerpen-cerpen. Dan ternyata di luar dugaanku, dari apa yang aku tulis beberapa teman mulai menyukai dan menunggu tulisan-tulisanku yang lain.

Hingga suatu saat, pada sebuah program perpustakaan desa yang bekerjasama dengan coca-cola foundation, aku diberikan kesempatan untuk terlibat di dalamnya. Mengembangkan perpustakaan desa  tentu bukanlah hal  yang mudah  di zaman sekarang ini. Kita harus beriringan dengan gadged yang dengannya kita bisa menemukan apa saja tanpa harus bersinggungan dengan buku dan segala yang ada di dalamnya. Siapa yang tidak menyukai gadged? Bahkan seorang anak kecil pun banyak kita temukan mereka tidak mau terpisah dengan gadgednya atau bahkan bisa dikatakan kecanduan. Hal ini menjadikanku terusik, saat Pemerintah Desa mulai memberikan fasilitas wifi gratis pada masyakat  sebagai salah satu bentuk layanan di perpustakaan. Bagaimana bisa? Sedangkan setiap pembangunan pasti ada dampaknya. Diam dan dengan jalan berjingkat aku mulai mengintip apa yang dilakukan anak-anak dengan wifi yang mereka akses. Dan sontak saja aku tercengang ketika aku melihat layar handphone mereka pada aplikasi youtube dengan tontonan konten dewasa yang belum seharusnya mereka lihat.

Bekerjasama dengan pengelola perpustakaan yang ada aku meminta ijin untuk  membuat komunitas anak. Berangkat dari 5 orang anak,  hingga akhirnya menjadi 20 anak aku membuat komunitas kecil ini, yang  kemudian aku beri nama “Laskar Kuat”. Beranggotakan anak remaja usia belasan yang kemudian sering aku ajak diskusi tentang  bagaiman cara mengakses internet sehat, selain aku ajak diskusi kelompok tentang kesehatan reproduksi remaja dan hingga akhirnya mereka bisa menjadi pendidik sebaya agar mereka bisa menularkan pengetahuan tentang internet sehat dan kesehatan reperoduksi pada temannya yang lain.   Gayung bersambut, kegiatanku mulai dilirik oleh sebuah NGO yang ada di kabupaten kota. Ketika merekan memiliki pemikiran dan isu yang sama untuk dikembangkan. Dari situlah kegiatan komunitas anak ini mulai berkembang, dengan membuat kegiatan-kegiatan sosial seperti melaksanakan peringatan hari anak, hari aids sedunia,  bedah film hingga sosialisasi dan penyuluhan pernikahan dini.

Seperti yang aku tulis di awal, Tuhan tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya berjuang sendirian.  Masuk  dan terlibat dalam kegiatan Perpus Seru aku bertemu dengan teman-teman yang kemuadian aku merasa, “kita satu frekuensi dengan hobby dan kesukaan yang sama”. Keinginan untuk menulis masih kuat.  Menjadikannya sebuah buku  adalah titik tertinggi sebuah pencapaian yang ingin aku capai. Hingga Tuhan menolongku, aku dipertemukan dengan mbak Septi, Direktur dari sebuah NGO yang kemudian mengajakku untuk membuat buku antologi puisi. Jalan sudah terbuka, keinginan sudah dimulai. Perpustakaan menjadi rumah kedua setelah semua kegiatanku selesai. Tahun 2018 bulan agustus Antologi Puisi dengan teman-teman Komunitas Saraswati terbit, dilanjutkan dengan novelku yang rilis bulan November 2018 dan kemudian bulan Desember aku dipercaya untuk membantu seorang teman menulis sejarah dan budaya sebuah desa. Lunas sudah, bulan April 2019 buku sejarah sebuah desa yang berjudul Kalirejo Kulon Progo  Daerah Istimewa Yogyakarta lahir dengan proses pelitian yang tidak sebentar. Rilis buku sejarah itu dilaksanakan pada upacara hari jadi desa tersebut oleh Bupati Kulon Progo, yang kemudian menjadi titik awal Pemerintah daerah melalui Dinas  Perpustakaan dan Kearsipan  Kabupaten  pada seluruh desa yang ada di Kulon Progo untuk membuat sejarah desanya sebagai salah satu pendukung  Yogyakarta sebagai kota Budaya. Hingga  kemudian aku kembali membuat antologi puisi bersama teman –teman komunitas di awal tahun 2020 berjudul Kluwung atau dalam Bahasa Indonesia diatikan sebagai “Pelangi”.

Bercita-citalah dengan begitu kamu akan hidup. Bermimpi dan berdoalah, jangan berhenti, Tuhan pasti akan mendengarnya!. Langit kan ingin itu, hingga kemudian Tuhan mewujudkan dengan melepaskannya satu-persatu. Kita sebelumnya mungkin tak pernah tahu, kenapa langit dicipta dan ditempatkan begitu tinggi, mungkin di antaranya untuk menggantungkan ingin kita. Tuhan akan memberi apa yang kita mau satu-persatu disaat waktu yang tepat, dan tidak pernah ada kata terlambat. Semua tepat pada masanya. Entah dengan cara seperti apa, bahkan mungkin dengan cara yang tidak kita duga  atau bahkan dengan cara yang mungkin kita tidak menyukainya. Tapi selalu percaya, tidak ada yang sia-sia dari setiap apa yang Tuhan berikan kepada kita!

BIODATA PENULIS

Kemiyati, dengan nama pena Kemiyati Wirono. Lahir di Kulon Progo,  24 April. Anak pertama dari 4 bersaudara. Lulusan SMK Muhammadiyah 1 Wates Kulon Progo. Jurusan Manajemen Perkantoran Jurusan Sekretaris. Sedang menempuh pendidikan S1 di IPW  Fakultas Pendidikan Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Prodi Bimbingan Konseling. Memiliki motto “bercita-citalah maka kamu akan hidup”

Menyukai dunia membaca sejak kecil, pernah bercita-cita menjadi wartawan dan penulis. Buku Antologi Puisi Kitab Puisi Asmaradhana dengan teman-teman duniaSaraswati   Agustus 2018.  Langkah Sunyi  November 2018, Kalirejo Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta April 2019, Antologi Puisi Kluwung dengan  Komunitas Sastra-Ku  Juni 2020.


Karya Perpusdes Swa Pustaka

Gedung Perpusdes  Swa Pustaka 

Interior Ruang Perpusdes Swa Pustaka

Ruang Lantai 2 Perpusdes  Swa Pustaka

Layanan Komputer dan Internet Gratis Perpusdes Swa Pustaka

Pintu Masuk Perpusdes Swa Pustaka
Laskar Kuat Perpusdes Swa Pustaka

Laskar Kuat Perpusdes Swa Pustaka

Laskar Kuat Perpusdes Swa Pustaka

Posting Komentar untuk "Perpustakaan Desa Tempat Terbaikku Melipur Lara"